PENDAMPINGAN “BERTEMAN” MENDUKUNG PERCEPATAN PERHUTANAN SOSIAL

 

Pada periode 2015 – 2019 ini, salah satu kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah pemberian akses pengelolaan hutan kepada masyarakat seluas 12,7 juta ha melalui skema perhutanan sosial. Program perhutanan sosial dalam bentuk hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan agar berhasil dan berdaya guna perlu pendampingan dari berbagai pihak, baik oleh penyuluh, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi maupun dunia usaha.
Hal tersebut tersampaikan dalam pembukaan Kegiatan Peningkatan Kapasitas Tenaga Pendamping Kelompok Pemegang Ijin Perhutanan Sosial, Selasa (17/04) di Balai Diklat LHK Kadipaten, Majalengka Jawa Barat.
Perhutanan Sosial merupakan implementasi Program Nawacita Pemerintahan Jokowi, membangun Indonesia dari pinggiran, dan Negara hadir untuk mensejahterakan masyarakat. “Sesuai arahan Presiden Jokowi, program ini jangan hanya memperhatikan capaian luasan, tetapi secara kualitas, masyarakat sejahtera lingkungan terjaga kelestariannya,” menurut Direktur Kemitraan Lingkungan, Jo Kumala Dewi.
Perhutanan sosial tidak hanya berhenti sampai dikeluarkannya ijin pengelolaan. Kelompok tani hutan harus menyusun rencana kegiatan usaha, rencana kelola kawasan, kelola kelembagaan. “Disinilah kehadiran pendamping kelompok menjadi penting untuk mendukung keberhasilan program perhutanan sosial,” lanjut Jo Kumala Dewi.
Penyuluh Kehutanan di tingkat tapak berperan melakukan pendampingan Kelompok Tani Hutan dalam mengakses perhutanan sosial. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Perhutanan Sosial mengamanatkan Penyuluh Kehutanan untuk mendampingi masyarakat mulai dari pembentukan kelompok, pengusulan hingga terbitnya ijin serta pengembangan usaha.

Menurut Kepala Pusat Penyuluhan, Kementerian LHK, Mariana Lubis, jumlah penyuluh kehutanan pegawai negeri sipil terus mengalami penurunan dan sampai dengan saat ini sebanyak 3.137 orang. Hal tersebut dikarenakan adanya proses purna tugas, alih tugas menjadi pajabat struktural, dan faktor lain. Jumlah tersebut tentu tidak sebanding dengan luasan target perhutanan sosial. Sehingga perlu peran multi pihak dalam melakukan pendampingan.
“Konsep pendampingan yang diterapkan adalah dengan kolaborasi atau lebih dikenal dengan Pendampingan BERTEMAN (BERbagi peran, TErapkan kebersamaan, MANdiri hasilnya) antara Penyuluh Kehutanan PNS, Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi dan dunia usaha melalui penguatan kelola kelembagaan, kelola kawasan dan kelola usaha,”lanjut Mariana.
Untuk mendukung kegiatan pendampingan tersebut, diperlukan peningkatan pengetahuan dan kapasitas tenaga pendamping untuk menjawab berbagai kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi petani pemegang ijin perhutanan sosial di tingkat tapak.
Kegiatan peningkatan kapasitas ini dihadiri oleh 100 orang peserta dari penyuluh kehutanan PNS, PKSM, LSM, tenaga pendamping masyarakat dan ketua kelompok tani beberapa daerah di Pulau Jawa. Melalui ceramah, diskusi kelompok, tukar pengalaman, simulasi kelompok dan praktek lapang diharapkan peserta dapat berpartisipasi aktif dan diterapkan langsung di masyarakat.
Acara yang rencananya dilaksanakan selama empat hari ini akan disampaikan materi berupa optimalisasi peran penyuluhan dalam pendampingan perhutanan sosial, metode identifikasi pemetaan potensi dan permasalahan kelompok Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan, pendampingan BERTEMAN, serta pendampingan penguatan kelola kelembagaan, kelola kawasan dan kelola usaha.