Pendahuluan
Hutan merupakan sumberdaya alam yang penting bagi kehidupan. Tidak hanya perannya yang sangat besar ditinjau dari sisi ekonomi maupun ekologi, namun hutan juga memiliki fungsi penting lainnya sebagai tempat tinggi bagi sebagian masyarakat. Masyarakat yang hidup di dalam maupun di sepanjang perbatasan kawasan hutan tinggal berkelompok membentuk sebuah desa dengan jumlah yang tidak bisa dikatakan sedikit. Berdasarkan hasil Survei Kehutanan Tahun 2014, desa yang berada di dalam kawasan hutan jumlahnya sekitar 2,48 persen (2.037 desa) dan yang berada di sekitar kawasan hutan sekitar 23,42 persen atau 19.247 desa, sementara sisanya sebesar 74,10 persen berada di luar kawasan hutan (Badan Pusat Statistik, 2014).
Pada umumnya, masyarakat desa yang hidup di dalam maupun sekitar kawasan hutan tersebut hidup di bawah garis kemiskinan, dengan tingkat pendidikan yang relative rendah dan mata pencaharian yang dominan adalah sebagai petani atau bekerja di bidang sub sector pertanian lainnya. Terbatasnya aksesibilitas kepada fasilitas pendidikan kesehatan dan lainnya, serta peluang mendapatkan pekerjaan menjadikan tingkat kesejahteraan penduduk sekitar hutan cenderung tidak meningkat. Dampaknya tingkat ketergantungan terhadap kawasan hutan menjadi sangat tinggi.
Desa Ekateta sebagai salah satu desa dari lima desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Diklat Sisimeni Sanam juga memiliki kondisi yang serupa. Desa yang secara administrasi terletak di dalam kecamatan Fatuleu serta bagian dari kabupaten Kupang ini sebagai besar penduduknya adalah petani atau pemilik ternak. Ketergantungan masyarakat Desa Ekateta terhadap keberadaan kawasan hutan membawa dampak bagi pengelolaan hutan diklat. Maraknya pengembalaan liar, misalnya, menjadi permasalahan umum dalam kegiatan rehabilitasi di areal hutan diklat yang berbatasan dengan desa ini Karena ternak sapi yang dilepasliarkan di dalam kawasan hutan akan merusak anakan tanaman yang baru ditanam. Belum lagi masalah pemanenan hasil hutan oleh masyarakat maupun pencurian bamboo yang masih sulit untuk dipantau mengingat keterbatasan jumlah SDM yang dimiliki oleh hutan diklat.
Salah satu langkah awal upaya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan mengumpulkan data dan informasi mengenai kondisi umum masyarakat Desa Ekateta dan ketrgantungannnya terhadap kawasan hutan diklat. Data tersebut merupakan data dasar yang sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak pengelola Hutan Diklat Sisimeni dalam pengembalian keputusan atau kebijakan.

Hasil dan Pembahasan Sejarah Kepemilikan Lahan di Desa Ekateta
Masyarakat Ekateta sudah lama menempati Desa Ekateta sebelum jaman penjajahan Belanda. Desa Ekateta sendiri dibentuk pada tahun 1966. Awalnya hutan yang ada di wilayah Desa Ekateta merupakan padang savanna. Setelah program Hutan Tanaman Industri (HTI) masuk sekitar tahun 1985, kawasan tersebut ditanami tanaman kehutanan seperti jati, mahoni dan johar. Saat itu masyarakat desa Ekateta turut dilibatkan dalam pengelolaan HTI sebagai tenaga untuk menanam, pengamanan, serta diberi izin memanfaatkan kawasan untuk berkebun. Masyarakat diperbolehkan menanam jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan di sela-sela tanaman kehutanan dengan syarat mereka harus membuat pagar (untuk mencegah sapi masuk) serta turut merawat tanaman kehutanan. Setelah HTI tidak beroperasi pada tahun 2000, hutan Sisimensi Sanam dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Kupang sampai dengan tahun 2007 sebelum akhirnya diserahkan kepada BDLHK Kupang untuk dikelola menjadi hutan diklat.
Saat ini masih ada sekitar 21 kepala keluarga (KK) eks peekerja HTI maupun masyarakat yang memiliki lahan di dalam kawasan huta di sekitar desa Ekateta. Sebanyak 11 KK memanfaatkan lahan tersebut untuk tempat tinggal dan kebun karena mereka memang tinggal di desa Ekateta. Sementara 10 kk lainnya hanya memanfaatkan lahan untuk berkebun Karena mereka sudah pindah dan tingal di desa Oesusu. Di dalam kawasan juga terdapat situs social berupa areal pemakaman Oebelo. Ada sekitar 200 makam yang sudah ada di sana. Makam tersebut merupakan tempat untuk mengubur anggota keluarga masyarakat Ekateta yang meninggal.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Ekateta
Sekitar 80% responden yang dianggap mewakili masyarakat desa Ekateta miliki mata pencaharian utama sebagai petani kebun dan pemilik ternak. Meraka menanam jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan dan sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari mereka sendiri. Hanya jika ada kelebihan hasil panen mereka akan jual ke pasar. Untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya (sekolah anak, pengobatan, pesta atau kegitan adat, membangun, rumah, dsb) mereka mengandalkan ternak sapi atau babi yang mereka punya. Seain itu, mereka juga mengandalkan kiriman uang dari anggota keluarga yang bekerja sebagai TKI/TKW di luar negeri.
Aksesibilitas untuk mendapatkan air, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk kebutuhan pertanian, bias dikatakan sangat minim. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka harus mengambil air yang jaraknya cukup jauh (500 m – 2 km). sedangkan untuk pertanian mereka hanya mengandalkan air hujan. Pada musim kemarau masyarakat tidak bias berladang, hanya menunggu hasil tanaman tahunan seperti kelapa, manga, asam, pisang atau papaya untuk bias dipanen dan dijual.
Interaksi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Desa Ekateta Terhadap hutan Diklat
Masyarakat desa Ekateta memandang keberadaan kawasan hutan diklat cukup penting, di antaranya untuk penyedia kebutuhan hidu seperti madu, asam, anonak, beberapa tmbuhan obat, serta lahan untuk mereka berladang jagung dan kacang. Namun intensitas atau frekuensi tidak terlalu tinggi, tergantung keperluan saja (lihat table 1).

Table 1. Manfaat Hutan Diklat Bagi Masyarakat Desa Ekateta

2017-02-14_7-21-34

Yang intensitasnya agak tinggi adalah pemenuhan kebutuhan akan kayu bakar dan bamboo untuk pembuatan rumah atau pagar kebun, serta kebutuhan lahan untuk pengembalaan sapi. Hal ini mengingat sapi yang mereka miliki mengandalkan pakan dari alam (rumput, daun, tanaman kecil, dsd). Tidak tersedianya sumber pakan yang cukup, serta tenaga untuk mengumpulkan pakan tersebut menjadi alasan mengapa sapi-sapi tersebut digembalakan secara liar. Selain itu, tidak tersedianya cukup air untuk minum sapi juga menjadi alasan lainnya, sehingga pemilik sapi mengandalkan air dari embun-embun yang terdapat di dalam kawasan hutan diklat.
Upaya pengandangan sapi dilakukan oleh beberapa pemilik sapi tapi sifatnya temporer saja pada malam hari dengan tujuan untuk menghindari pencurian sapi yang marak terjadi. Sebagai besar lainnya memang digembalakan secara liar siang dan malam. Pemilik sapi hanya memeriksa sapi-sapi mereka dua atau tiga hari sekali.
Persepsi Tokoh Masyarakat dan Warga Terhadap Keberadaan Kawasan Hutan Diklat
Secara uum tokoh masyarakat dan waraga desa Ekateta mengakui keberadaan kelompok hutan Sisimeni Sanam sejak pemasangan pal batas dilakukan oleh Dinas kehutanan tahun 1980-an. Sehingga ketika kawasan hutan ini dialihkan pengeloaannya kepada balai Diklat LHK Kupang, mereka tetap mengakui kawasan hutan ini. Berdasarkan pengakuan masyarakat desa Ekateta sendiri, mereka sebenarnya takut untuk beraktifitas di dalam kawasan tanpa ijin meskipun harapan untuk bias memanfaatkan kawasan itu tetap ada.
Berdasarkan pengakuan salah satu tokoh masyarakat desa Ekateta, waraga di desa Ekateta uumnya tidak memiliki sertifikat atas lahan mereka. Mereka mendapatkan lahan dari orang tua mereka dan selanjutnya akan diwarisakan kepada anak cucu mereka. Meraka tidak membuat sertifikat dengan alasan jika lahan mereka bersertifikat dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh salah satu anggota keluarga untuk dijual kepada pihak luar, sehingga akan memicu konflik antar anggota keluarga.
Peranan Balai Diklat dalam Mengembangkan Masyarakat Desa Ekateta
Berdasarkan data dan informasi asil observasi di lapangan secara umum Desa Ekateta tidak memiliki permasalahan yang berarti dengan pihak Bali Diklat, meskipun tingkat ketergantungannya terhadap hutan cukup tinggi. Hanya saja pola komunikasi yang baik harus terus ditingkatkan, sehingga potensi konflik dapat dicegah sedini mungkin. Kesadaran masyarakat akan kelestarian hutan dan manfaatnya bagi masyarakat itu sendiri juga harus terus digugah melalui sosialilasi dan penyuluhan yang intensif.
Program pemberdayaan masyarakat terkait dengan pengembangan agroforestry sudah mulai digagas degan pengembangan demplot wanatani konseervasi. Hasilnya jika sudah terlihat, dpat ditunjukan kepada petani bagaimana pertanian dapat dilakukan meskipun di daerah yang terbatas persediaan airnya. Pengembangan areal untuk penyediaan hijauan makanan ternak (HMT) juga ke depannya harus segera direalisasikan. Sehingga pemenuhan kebutuhan pakan ternak dapat terpenuhi dan program rehabilitasi lahan dapat terlaksana.
Beberapa harapan dari masyarakat yang terangkum dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan warga desa Ekateta juga dapat dijadikan sebagai masukan. Harapan asyarakat tersebut antara lain pengelolaan hutan dengan system agroforestry seperti era HTI tahun 1980-an diaktifkan kembali, dimana masyarakat diijinkan berladang di dalam kawasan. Mereka bersedia menanam dan memelihara tanaman kehutanan serta membuat pagar di areal yang mereka kelola untuk menghindari kerusakan yang diakibatkan oleh sapi. Meraka juga mengusulkan agar jenis tanaman yang dikembangkan antara lain keniri dan jambu mete, dimana hasilnya diharapkan bias dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijual. Kedua jenis ini dianggap cocok dan tahan dengan kondisi desa Ekateta yang gersang. Untuk jenis lain yang diusulkan adalah jati dan gmelina, tapi untuk kedua jenis ini harus di beri penekanan bahwa fungsinya untuk menciptakan iklim mikro dan mengatur tata air, atau penyediaan ranting untuk kayu bakar, bukan untuk dimanfaatkan kayunya.
Selain itu, harapan masyarakat tersebut harus ditangkap dan ditindaklajuti dengan kajian yang lebih komprehensif. Output dari kajian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dasar pemilihan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, mimpi untuk mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera akan lebih realitis untuk dicapai.
Kesimpulan
Sebagai besar penduduk desa Ekateta sebagai besar adalah petani dan pemilik ternak. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi, terutama untuk pemenuhan kebutuhan hasil hutan bukan kayu, kayu bakar, bamboo dan lahan untuk saat ini belum terlihat, namun tetap harus diantisipasi. Program pemberdayaan masyarakat harus dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat sebaga salah satu alternative cara penanganannya.

Abdul Malik Solahudin

Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Desa Hutan (2). Diunduh dari situs:
https://kembaratani.wordpress.com/2008/08/16/desa-hutan-2/ pada tanggal 10 Oktober 2016.
Badan Pusat Statistik, 2015. Analis Rumah Tangga Sekitar kawasan hutan di Indonesia : hasil Survei Kehutanan 2014. Jakarta.